Selasa, 11 Oktober 2011

Mahasiswa, Agen Pemberantas Korupsi

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang dirilis Transparency International Indonesia pada tahun 2010 adalah 2,8. Angka ini sama dengan IPK Indonesia tahun 2009 (VOA-22/09/11). Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih belum bisa memberantas korupsi secara menyeluruh, bahkan tidak ada peningkatan dalam setahun terakhir. Hukum yang bisa diperjual belikan maupun penegak keadilan yang bisa diimingi uang menyebabkan para koruptor tetap melakukan aksinya. Cara-cara yang diterapkan saat ini, seperti pemiskinan koruptor, penggantian uang Negara dua kali lipat, dan lain sebagainya tidak membuat mereka takut untuk melakukan korupsi.

Korupsi itu Harus 3D


Anda mengenal Gayus Tambunan? Urip Tri Gunawan? Anggodo Widjojo? Mereka sempat menjadi artis selama beberapa bulan di televisi. Wajah mereka, kisah mereka, bahkan pembicaraan tentang mereka terus menerus ditayangkan. Siapa mereka sebenarnya? Anggota Boyband? Grup Band baru? Tentu saja bukan. Mereka adalah KORUPTOR. Mereka orang-orang pintar yang berhasil mencuri uang Negara, dan orang seperti inilah yang harus diberantas. Lalu, bagaimana dengan pemberantasan korupsi di Indonesia? Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang dirilis Transparency International Indonesia pada tahun 2010 adalah 2,8. Angka ini sama dengan IPK Indonesia tahun 2009 (VOA-22/09/11). Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih belum bisa memberantas korupsi secara menyeluruh, bahkan tidak ada peningkatan dalam setahun terakhir. Hukum yang bisa diperjual belikan maupun penegak keadilan yang bisa diimingi uang menyebabkan para koruptor tidak takut lagi untuk melakukan aksinya. Cara-cara yang diterapkan saat ini pun seperti pemiskinan koruptor, penggantian uang Negara dua kali lipat, dan lain sebagainya tidak juga membuat mereka takut untuk melakukan korupsi. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Senin, 10 Oktober 2011

Waktu Orang-tak-Penting

Tampaknya waktu orang-tak-penting itu tak berharga
Dia terlambat, orang-orang penting mendesaknya untuk tepat waktu
Dia datang lebih cepat, orang-orang penting mengulur waktunya
Akhirnya dia menunggu dengan sabar, hanya untuk senyum dan ucapan, "maaf, kami terlambat" dari orang-orang penting
Dia punya urusan, orang penting memaksanya bertemu, "kami tak punya waktu selain saat ini"
Dia santai dan bisa bertemu, orang penting mengurusi urusan lain, "nanti ya setelah saya beres"
Jadi, waktu orang-tak-penting itu hanya untuk disesuaikan dengan orang penting?
Naas sekali

Jauh


Kau begitu jauh sayang..
Aku yang terpenjara ruang hanya bisa menggenggam angin
Tak ubahnya anak kecil bermain layangan,
Tali engikat cinta kita yang kupegang,
Bukan wujud nyata dirimu
Kau kesana kemari,
Menjauh mendekat,
Argh! Kapan tubuhmu bisa kupeluk seutuhnya?

Kau begitu jauh sayang..
Jarak ini membuat rinduku semakin besar dan hampir tak terbendung
Kemana harus kusalurkan semuanya?
Aku takut hati ini pecah berkeping-keping
Perhatianmu, suaramu, cintamu, kasihmu, semuanya hanya menambah kerinduanku
Terkadang aku menderita sayang..
Apakah perasaan ini anugrah atau siksaan?

Kita begitu jauh sayang..
Kuatkan aku agar ruang ini tak membatasi cinta kita

Aku Benci Bulan Purnama


Aku senang malam datang
Gelapnya menyamarkan kelamku
Tapi tidak saat purnama
Semuanya tampak jelas
Begitupun bayang hitamku
Aku benci dia hadir
Aku benci cara dia tebar pesona
Padahal itu bukan cahayanya
Dia hanya meminjam, tapi begitu angkuh

Aku bahagia hujan turun
Derasnya menghanyutkan catatan kesedihanku
Tapi tidak saat purnama hadir
Dia mengusir semua awan mendung yang kusuka
Aku benci dia datang
Aku benci benderang semunya
Padahal dia hanya sosok sepi tak berkawan
Mengapa semua memujanya?

Purnama yang semu, aku benci kau!

Tak Lelah, Meski Lemah


Hari cerah..
Namun awan kelabu itu tak jua menyerah..
Dia hantarkan gerimis itu yang turun tak henti tak lelah, meski lemah..
Padahal matahari memerah..
Dan bunga-bunga indah hendak merekah..
Namun mengapa gerimis itu turun tak henti tak lelah, meski lemah?
Lihat! Lihat jemuran-jemuran basah!
Bayangkan sang pencuci yang lelah..
Berharap langit tetap cerah..
Cerah..
Tanpa gerimis yang turun tak henti tak lelah, meski lemah..
Namun tetap saja hanya harapan yang terhempas ranah ke tanah..
Gerimis turun tak henti tak lelah, meski lemah.

Aku tak marah..
Hanya sedikit gerah..
Dan juga lelah..
Sedikit gelisah..
Meratapi jemuran-jemuran basah..
Karena gerimis turun tak henti tak lelah, meski lemah..
Bukan! Bukan aku merasa susah..
Bukan juga terlalu resah..
Tapi sedikit berharap awan itu berganti arah..
Sudah..
Cukup berganti arah..
Agar gerimis yang turun tak lelah, meski lemah itu tak membuat jemuranku basah..



-Desember 2010-

Bagaimana Jika Aku Pergi?


Bagaimana jika aku pergi?
Akankah orang-orang menangisiku dan mengiringi perjalanan akhirku dengan do'a tulus ikhlas agar aku senantiasa berbahagia di alam sana?
Ataukah dengan kepergianku mereka tersenyum bahagia dan tak henti mengucap syukur serta kutuk karena kisah yang kutorehkan di hati mereka tak begitu menyenangkan?

Bagaimana jika aku telah pergi?
Mungkinkah maaf kuterima dari sederet orang yang pernah kucoreng kebahagiannya?
Atau jangan-jangan aku hanya akan diberi makian atas semua kisah hidupku yang tak bersih sempurna di hati mereka?

Bagaimana jika aku benar-benar telah pergi?
Bisakah semua yang terlibat dalam alur perjalananku mengingatku, bahkan mengenang semua cita dan ceritaku bersamanya?
Atau haruskah aku sendiri yang tersenyum miris saat semuanya tak lagi sudi menyimpanku  dalam kenangan mereka?

Aku yang pernah mencinta dan dicinta, maupun aku yang terkadang membenci atau dibenci, berharap tak secepat itu aku pergi.
Karena masih ingin kulukis warna-warna indah di setiap helaan nafasku, tanpa melukai, tanda menodai, dan tanpa membebani kehidupan yang lain.

Namun, Tuhan, jikalau waktunya memang telah tiba, aku berharap Kau tak membiarkan aku mendapatkan jawaban buruk saat kutanyakan "bagaimana jika aku pergi saat ini"?

-untuk mereka yang pernah mengenalku walau hanya sekedar tahu siapa namaku, dari aku yang lebih suka meninggalkan daripada ditinggalkan (karena aku tak ingin pernah merasakan kehilangan)-

Bogor, 26 Agustus 2010

Aku dan MEREKA


Aku, yang telah penat dengan semua kegaduhan yang kotak-kotak beroda itu perbuat, yang terlalu gundah dengan keluh yang terbentuk dari hela nafas mereka, yang tak sanggup menahan hawa panas yang tercipta oleh ego para perusak, mulai menyadari, aku bak mereka.

Aku, yang rajin menghadiahi para tuan penerima sampah dengan sisa yang masih berguna, yang terkadang tak peduli untuk menodai ikrar K3 yang usang terpampang tiap kelokan, yang sering pula mencemoh mereka yang tak mengerti arti untuk menempatkan segala sesuatu ditempatnya, kini menyadari, aku pun mereka.

Aku, yang tertawa melihat pasukan jingga bergoyang mengeruk ketidakpedulian para pengguna, yang bermasa bodoh dengan pundi-pundi harta berbau tengik yang tercecer mengindahkan kelamnya aspal jalanan, yang mengklaim ingin menyelamatkan kehidupan tapi dengan membasuh langit biru dengan kepulan gas yang tak layak hirup, dengan yakin, aku dan mereka, sama.

-Bogor, 29 Juni 2010-

Mencari Hujan


Ketika awan mulai menampakkan sisi gelapnya, aku bertanya, "akankah kau turunkan hujan?"
Awan menjawab.. "bukan aku yang menurunkan.. aku pun tidak menurunkan.. Sebenarnya akulah sang hujan yang belum mencair."

Dan hujan pun mulai turun, karena dia terlalu tinggi aku bertanya pada kaki-kaki hujan, "kenapa kau turun dan membasahi duniaku?"
Hujan pun menjawab heran.. "Duniamu? haha.. Jangan tanyakan padaku.. Aku hanyalah air yang terjatuh begitu saja.."

Aku mulai mencari sang air dan bertanya, "apa kau bapaknya hujan?"
"Hujan? aku adalah hujan.." Air menjawab sinis..

Dari kutub utara kudengar bisikan.. "Akulah es.. Yang meleleh menjadi air dan kelak menjadi hujan.."
Segera kuberlari.. Mendaki gunung tertinggi dan menemui puncak es.. "Kau ibunya hujan?"
"Kau bertanya tentang salju?" dia bertanya kebingungan..

Sejenak kuperhatikan tanah merah yang bersedia menampung hujan, aku pun bertanya, "Hai tuan, mengapa hujan memukulimu?"
Tanah berseru.. "Entahlah.. aku hanya kaum rendahan.. Tanyakan pada yang bertahta di atas sana.."

Aku memandang lagit.. Biru, tapi suram.. Biru, tapi mendung.. Biru, tapi tak bercahaya.. Aku bertanya, "Langit.. mengapa ada hujan? Langit.. Siapa induk hujan? Langit.. Apakah engkau sumber hujan?"
"pertanyaan bodoh! mengapa tak kau tanyakan pada hujan?" timbal sang langit.

Dengan lesu aku kembali mencari kaki kaki hujan yang telah berpindah ke selatan.. Angin yang tak tahu perasaanku terus meniupkan awan yang membawa hujan menjauh.. aku mengeluh.. "Angin.. tidak bisakah kau berhenti sejenak? Biarkan aku bertemu dengan hujan.."
"Tidak.. inilah tugasku.. Hanya dia yang bisa mengehentikanku.." angin menjawab

Lari.. Lari.. Lari dan berlari... Hujan mulai terlihat aku mulai lelah.. Hujan mulai terkejar aku sudah di penghujung batas.. Hujan mulai terasa aku diam, tak sanggup. Aku berteriak pada hujan.. "Hujan! Kau mengerjaiku?"
Sekilas hujan menoleh dan tersenyum. "Tidak.. sebenarnya, apa maumu?"
Aku sendiri tak tahu mengapa aku mencari hujan..
Aku sendiri tak mengerti mengapa ingin bersama hujan..
Aku sendiri tak paham mengapa bertanya tentang hujan..
Aku sendiri tak bisa menjawab apa yang hujan tanyakan..
Dan akhirnya aku hanya bisa membiarkan hujan berlalu..
Menjauh..
Mungkin saat kutemukan jawabannya, akan kucari sang hujan..
Tunggu aku!

3 in 1 (mata, dewa, dan aku)


Mata air haruslah mengalir dalam dahaga air mata

Matahari janganlah tenggelam ketika hari dan mata tak bersatu

Mata hati tetaplah memandang walau hati dan mata dalan buaian

Mata kaki bertahanlah saat kaki dan mata susah bertemu

Meskipun...

Mereka menjadi dewa
Aku terpuruk di neraka
Menatap nirvana
Kabita

Aku kehilangan tahtaku
Mereka memang terlalu
Diam pun tak membantu
Teu payu

Syalalala aku bernyanyi
Beriring duka, aku menari
Senandungkan lagu agar waktu kembali
Ka mimiti

Akhirnya...

Bersama rintik itu aku menilik semua titik yang begitu antik

Dibantu sang cahaya aku memperdaya setiap raya yang teraniaya

Diiring para dentuman aku mencari kedamaian di kedalaman hati relawan

Lelap


Aku yang meringkuk dalam hangat
Menggapai asa, semu
Indah

Aku yang tersadar dalam maya
Tersenyum bahagia, palsu
Manis

Aku yang berdiri dalam labil
Bertahan tegak, rapuh
Tegar

Aku yang berkedip dalam gelap
Memandang lepas, berakhir
Luas

Aku yang khusuk dalam galau
Menanti cahaya, percuma
Bimbang

Sejenak aku terbangun
Menyadari aku telah terlelap jauh dan dalam
Pada nyatapun terjadi
Enggan aku beranjak
Jadi, biarkan aku terlelap kembali

Terbayang akan Kematian


Aku gatau, kenapa akhir-akhir ini selalu ingat mati.
Sekilas, namun sering.
Apakah waktuku di dunia ini tinggal sebentar?
Mungkinkah tuhan menyuruh hambanya yang hina ini lekas bertaubat?

Setiap kali teringat akan kematian, rasa ini bergemuruh, dan jantung berdetak tanpa aturan.
Saat itu, aku pasrah jika memang waktuku telah habis, walaupun aku belum siap.

Terlalu banyak luka yang kutoreh di hati teman-teman, dan belum sempat kuobati.
Tak hingga salah yang kuperbuat, dan belum sempat kumeminta maaf.
Dan tak terhitung dosaku selama ini, namun belum jua kubertaubat.

Tuhan, jika memang waktuku telah tiba, tolong ampuni hambamu, agar suci saat kembali padaMu.

Bapak, terimakasih selama ini telah berjuang demi hidupku. Mungkin tidaklah cukup waktuku tuk membalasnya. Maaf jika aku tak bisa menjadi anak seperti yang engkau harapkan.

Ibu, dalam asuhanmu aku tumbuh. Dalam kasihmu aku hidup. Sungguh aku tak berdaya tanpamu. Jikalau syurga di telapak kakimu itu nyata adanya, untuk terakhir kalinya kumeminta ridhamu tuk mencapai syurga itu. Maaf, terkadang selama ini aku mengabaikan nasehatmu.

Teman-teman. Hidupku tak berarti tanpa kalian. Kalian telah memberi warna yang takkan pernah bias smpai kapan pun jua. Maaf jika kataku lukaimu. Maaf jika lakuku sakitimu. Maaf jika adaku abaikanmu. Mungkin aku tiada berarti di mata kalian, tapi kenanglah aku sebagai sosok manusia yang walaupun sebentar pernah singgah di hidupmu.

Jikalau benar waktuku singkat, ingatkan aku agar selalu berbuat baik.
Jika sampai akhir waktuku bernafas tiba, yang kupinta hanya 2.
Maaf dan Doa.

Aku ini...


Aku ini sejatinya binatang
Tak teracuh meski hanya lirikan
Sesukanya berlalu tanpa permisi
Tercaplah aku tak bernilai

Aku ini benda buangan
Manisku habis sampahlah aku
Diam menunggu diraih bahagia
Rendah sekali aku di sini

Aku merangkak
Usahaku
Aku bermunajat
Do'aku

Cukup!
Aku tak lagi suka
Aku ini manusia
Sebongkah tubuh dan jiwa
Lengkap dengan rasa

Lihat aku!
Resapi maknaku tak beda denganmu
Hargai aku!
Karena diamku dulu penghargaan untukmu

Di sini aku
Aku nyata
Aku ada
Dan aku serta hadirku
Bukanlah debu kecil tak berarti
Aku bernilai