Okeeeh ini hanyalah hasil pemikiranku saja ~ no offense, siapapun.. Cuma pengen mencurahkan apa yang kupikirkan dan kuyakini semalam..
Jadi ceritanya semalam cukkucrukkucruk I received a text, bincang bincang kekanan kekiri tau-tau nyambung ke riba. Hanya sekilas sih bahas riba-nya, selebihnya bahas yang lainnya. Tapi entah kenapa kata "riba" begitu menggelitik, berasa manggil-manggil minta dikepoin. Jadi kali ini, mau ceritain hasil kepoanku, tapi sebelumnya aku mau cerita dulu...
Jadi, sesungguhnya sudah lama aku mengenal "riba", tapi ya gitu, cuma kenal, atau bahasa gaulnya cukstaww (cukup tau). Pokoknya yang terpatri di otakku, riba itu bunga, yang bikin orang minjem 1 juta, mesti bayar 1.5 juta. 500 ribunya itu bunganya, ribanya. Dan itu dilarang oleh Allah untuk disantap, maka harus kuhindari. Udah, sekedar itu doang...
Jadi apa saja yang kulakukan untuk meminimalisir "penyantapan riba" ini?
One
Berbekal ilmu tentang riba yang sangat minim, aku menetapkan hati untuk tidak bekerja di perusahaan yang process businessnya berkutat dengan hal-hal tersebut. Walau banyak pro kontra tetang perusahaan macam gini, kuambil amannya saja "tidak usah bekerja disana". Tak pernah sekalipun terbersit niat melamar disana ~ bahkan ketika perusahaan-perusahaan tersebut meneleponku (padahal mah aku ga daftar -_-) untuk bekerja bersama mereka, tanpa ragu kubilang, "maaf, saya tidak bisa bekerja di perusahaan anda"...
Two
Karena yang konvensional-konvensional katanya terlalu jelas ribanya, maka kupercayakan uang-uangku dan transaksi keuanganku dikelola lembaga yang memiliki embel-embel "syariah". Besar harapanku sih agar yang "bersyariah" ini segera menjadi murni syariah ~ sehingga semakin minimlah riba yang kusantap.
Three
Jika tak mampu menghadapinya, maka sejak awal harus dihindari
Entah prinsip ini baik untuk dipegang atau tidak, yang jelas rasanya aku ga sanggup deh ngadepin apa-apa saja yang terjadi kalau menyantap riba, jadi kuhindari saja apa-apa yang dugaan ke-riba-annya kuat, contoh produk asuransi. Memang ini juga masih pro kontra, tapi ya aku gamau setengah-setengah, lebih baik tidak sekalian.
Sudah, itu saja yang kulakukan untuk menghindarinya ~
Kembali ke maksud dan tujuan di atas tentang apa sih hasil kepo ku? Jeng jeng jeng jeng jeng
#flashbacklagi
Jadi, setelah aku ditetapkan bahwa akan tetap kerja di bogor (penempatan), aku mulai mikir, "ga enak nih kalau tetap ngekos, kayaknya enak beli rumah deh, buat DP rumah yang kecil siih ada" ~ dan sejak pemikiran seperti itu datang, hampir di setiap kesempatan aku cari-cari rumah di bogor yang kira-kira oke, lalu itung-itung kpr nya, berapa bunganya, berapa tahun lama cicilannya, berapa besar cicilan yang aku sanggup bayar, dan lain sebagainya ~ Udahlah udah mantep, tinggal ngurus-ngurus, tapi belum ada waktu, jadi belum sempat ngurusin...
Nah di waktu tak terduga datanglah pesan yang kukatakan tadi ~ pembicaraam absurd yang diselipin riba dan dilanjutkan keabsurdan lainnya...
Tergelitik oleh "ke-riba-an" itu, akhirnya aku kepo-in riba tersebut (balik ke tujuan awal cerita, ga flashback lagi. Dan hasilnya adalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
First
Aku menemukan ayat-ayat tentang riba dan suatu hadist dengan terjemahan berbeda-beda
Two
Karena yang konvensional-konvensional katanya terlalu jelas ribanya, maka kupercayakan uang-uangku dan transaksi keuanganku dikelola lembaga yang memiliki embel-embel "syariah". Besar harapanku sih agar yang "bersyariah" ini segera menjadi murni syariah ~ sehingga semakin minimlah riba yang kusantap.
Three
Jika tak mampu menghadapinya, maka sejak awal harus dihindari
Entah prinsip ini baik untuk dipegang atau tidak, yang jelas rasanya aku ga sanggup deh ngadepin apa-apa saja yang terjadi kalau menyantap riba, jadi kuhindari saja apa-apa yang dugaan ke-riba-annya kuat, contoh produk asuransi. Memang ini juga masih pro kontra, tapi ya aku gamau setengah-setengah, lebih baik tidak sekalian.
Sudah, itu saja yang kulakukan untuk menghindarinya ~
Kembali ke maksud dan tujuan di atas tentang apa sih hasil kepo ku? Jeng jeng jeng jeng jeng
#flashbacklagi
Jadi, setelah aku ditetapkan bahwa akan tetap kerja di bogor (penempatan), aku mulai mikir, "ga enak nih kalau tetap ngekos, kayaknya enak beli rumah deh, buat DP rumah yang kecil siih ada" ~ dan sejak pemikiran seperti itu datang, hampir di setiap kesempatan aku cari-cari rumah di bogor yang kira-kira oke, lalu itung-itung kpr nya, berapa bunganya, berapa tahun lama cicilannya, berapa besar cicilan yang aku sanggup bayar, dan lain sebagainya ~ Udahlah udah mantep, tinggal ngurus-ngurus, tapi belum ada waktu, jadi belum sempat ngurusin...
Nah di waktu tak terduga datanglah pesan yang kukatakan tadi ~ pembicaraam absurd yang diselipin riba dan dilanjutkan keabsurdan lainnya...
Tergelitik oleh "ke-riba-an" itu, akhirnya aku kepo-in riba tersebut (balik ke tujuan awal cerita, ga flashback lagi. Dan hasilnya adalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
First
Aku menemukan ayat-ayat tentang riba dan suatu hadist dengan terjemahan berbeda-beda
عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
dari Jabir dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pemakan riba, orang yang menyuruh makan riba, juru tulisnya dan saksi-saksinya.” Dia berkata, “Mereka semua sama.” (HR. Muslim)
Jabir Radliyallahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Beliau bersabda, "Mereka itu sama." Riwayat Muslim.
dari Jabir bin Abdilla Radhiyallahu Anhu berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam melaknat pemakan riba, yang memberi riba, penulisnya, dan dua saksinya." Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu berkata, "Mereka seluruhnya sama." (HR. Muslim nomor 1698)
Second
Yaks dapat berbagai terjemahan di atas buat aku galau, karena kalimat-kalimat yang digarisin itu beda-beda tapi mengarah ke suatu posisi yaitu " yang memberi ribanya". Benarkah? Jadi, jika orang miskin lagi butuh duit banyak, terus minjem ke rentenir karena terpaksa, dan renternirnya pakai sistem pembungaan berlapis-lapis, jadi orang miskim tersebut bakal menderita 2 kali? terbeli utang dan terikat riba. WOW. Jadi, kalau minjem kpr itu pun sama aja kayak memberi riba pada orang-orangbyang mengurusi KPR tersebut? Wallahualam ~ dan seperti biasa, karena aku ragu-ragu, mending ga usah sekalian!!
Third
Aku tidak akan puas jika sumberku hanya satu. Kujelajahi dunia perilmuan, dan kutemukan jawaban konsisten, yakni utang-berutang di/pada di bank konvensional, jika minjem 1 kembalikan 2, maka itu termasuk riba. Dan dari sinilah saya menetapkan hati untuk hidup tanpa hutang (melihat lingkunganku, yang memungkinkan ngasih aku utang adalah bank) ~ Semoga bisa. Sedih sih sebenernya liat yang lain sudah pada punya rumah or kendaraan mewah, entah tunai atau nyicil. Tapi jika aku memaksakan untuk memilikinya, dengan gajiku saat ini, mau gamau pasti nyicil sih. Well, pemikiranku ini sempat kuutarakan ke teman-temanku dan mereka bilang aku kuno. Hahaha. Iya sih, disaat segala sesuatu bisa didapatkan dengan instan, aku malah ga memanfaatkan fasilitas tersebut. Ditambah kenyataan bahwa tingkat inflasi akan menjadikan harga apapun meningkat pesat, seharusnya aku sadar dan melek, rumah yang saat ini 200 juta, setahun ke depan bisa 400 juta, sedangkan nilai uang ditabunganku malah menurun. Dulu seratus ribu bisa beli 5 mangkuk baso, setahun ke depan mungkin hanya 2-3 mangkuk baso. Intinya nilai uang di tabunganku menurun, harga barang-barang meningkat, sehingga kalau tidak dicicil dari sekarang, kapan bisa kebeli? Bisa dibilang keputusanku ini bodoh. Tapi entah kenapa aku meyakininya dengan sepenuh hati, jika aku menjauhi apa yang dilarangNya, Tuhan akan memberikan jalan :)
Kembali ke judul ~
Ber-uang atau Ber-utang?
Aku lebih memilih ber-uang walau tidak memiliki apa-apa, daripada memiliki semuanya tapi ber-utang. Syukur-syukur jika bisa memiliki semuanya tapi tetap ber-uang. Bisa sih, kalau aku mau jadi wirausaha, yang gajinya unlimited, tegantung usaha. Karena kalau jadi pegawai, ada batasan gaji yang didapat. Hehe.
Di luar topik, kadang terjadi pertentangan pikiran saat aku sedang mencari harta dunia:
1. Pengen banyak uang biar bisa bantu lebih banyak orang, jadi harus kerja keras, kerja cerdas!
2. Pengen biasa aja biar pas dihisab ga lama-lama, toh nanti meninggal juga segala sesuatu yang dibeli ga bakal dibawa ke liang kubur, jadi yang sekarang ada syukuri saja..
Third
Aku tidak akan puas jika sumberku hanya satu. Kujelajahi dunia perilmuan, dan kutemukan jawaban konsisten, yakni utang-berutang di/pada di bank konvensional, jika minjem 1 kembalikan 2, maka itu termasuk riba. Dan dari sinilah saya menetapkan hati untuk hidup tanpa hutang (melihat lingkunganku, yang memungkinkan ngasih aku utang adalah bank) ~ Semoga bisa. Sedih sih sebenernya liat yang lain sudah pada punya rumah or kendaraan mewah, entah tunai atau nyicil. Tapi jika aku memaksakan untuk memilikinya, dengan gajiku saat ini, mau gamau pasti nyicil sih. Well, pemikiranku ini sempat kuutarakan ke teman-temanku dan mereka bilang aku kuno. Hahaha. Iya sih, disaat segala sesuatu bisa didapatkan dengan instan, aku malah ga memanfaatkan fasilitas tersebut. Ditambah kenyataan bahwa tingkat inflasi akan menjadikan harga apapun meningkat pesat, seharusnya aku sadar dan melek, rumah yang saat ini 200 juta, setahun ke depan bisa 400 juta, sedangkan nilai uang ditabunganku malah menurun. Dulu seratus ribu bisa beli 5 mangkuk baso, setahun ke depan mungkin hanya 2-3 mangkuk baso. Intinya nilai uang di tabunganku menurun, harga barang-barang meningkat, sehingga kalau tidak dicicil dari sekarang, kapan bisa kebeli? Bisa dibilang keputusanku ini bodoh. Tapi entah kenapa aku meyakininya dengan sepenuh hati, jika aku menjauhi apa yang dilarangNya, Tuhan akan memberikan jalan :)
Kembali ke judul ~
Ber-uang atau Ber-utang?
Aku lebih memilih ber-uang walau tidak memiliki apa-apa, daripada memiliki semuanya tapi ber-utang. Syukur-syukur jika bisa memiliki semuanya tapi tetap ber-uang. Bisa sih, kalau aku mau jadi wirausaha, yang gajinya unlimited, tegantung usaha. Karena kalau jadi pegawai, ada batasan gaji yang didapat. Hehe.
Di luar topik, kadang terjadi pertentangan pikiran saat aku sedang mencari harta dunia:
1. Pengen banyak uang biar bisa bantu lebih banyak orang, jadi harus kerja keras, kerja cerdas!
2. Pengen biasa aja biar pas dihisab ga lama-lama, toh nanti meninggal juga segala sesuatu yang dibeli ga bakal dibawa ke liang kubur, jadi yang sekarang ada syukuri saja..